Teknik Sipil

Senin, 13 Februari 2017

PENANGANAN KAWASAN KUMUH




1.1 Pengertian Kumuh        
            Kumuh adalah kesan atau gambaran secara umum tentang sikap dan tingkah laku yang rendah dilihat dari standar hidup dan penghasilan kelas menengah. Dengan  kata lain, kumuh dapat diartikan sebagai tanda atau cap yang diberikan golongan atas yang sudah mapan kepada golongan bawah yang belum mapan.
            Menurut kamus ilmu-ilmu sosial Slum’s diartikan sebagai suatu daerah yang kotor yang  bangunan-bangunannya sangat tidak memenuhi syarat. Jadi daerah slum’s dapat diartikan sebagai daerah yang ditempati oleh penduduk dengan status ekonomi rendah dan bangunan-bangunan perumahannya tidak memenuhi syarat untuk disebut sebagai perumahan yang sehat.
            Slum’s merupakan lingkungan hunian yang legal tetapi kondisinya tidak layak huni atau tidak memnuhi persyaratan sebagai tempat permukiman (Utomo Is Hadri, 2000). Slum’s yaitu permukiman diatas lahan yang sah yang sudah sangat merosot (kumuh) baik perumahan maupun permukimannya (Herlianto, 1985). Dalam kamus sosiologi Slum’s yaitu diartikan sebagai daerah penduduk yang berstatus ekonomi rendah dengan gedung-gedung yang tidak memenuhi syarat kesehatan. (Sukamto Soerjono, 1985).
1.2  Permukiman Kumuh
            Diana Puspitasari  dari Dinas Tata Ruang dan Permukiman (Distarkim) Kota Depok mengatakan, definisi permukiman kumuh berdasarkan karakteristiknya adalah suatu lingkungan permukiman yang telah mengalami penurunan kualitas. Dengan kata lain memburuk baik secara fisik, sosial ekonomi maupun sosial budaya. Dan tidak memungkinkan dicapainya kehidupan yang layak bahkan cenderung membahayakan bagi penghuninya.
            Menurut Diana, ciri permukiman kumuh merupakan permukiman dengan  tingkat hunian dan kepadatan bangunan yang sangat tinggi,  bangunan tidak teratur, kualitas rumah yang sangat rendah. Selain itu tidak memadainya prasarana dan sarana dasar seperti air minum, jalan, air limbah dan sampah.
            Kawasan kumuh adalah kawasan dimana rumah dan kondisi hunian masyarakat di kawasan tersebut sangat buruk. Rumah maupun sarana dan prasarana yang ada tidak  sesuai dengan standar yang berlaku, baik standar kebutuhan, kepadatan bangunan,  persyaratan rumah sehat, kebutuhan sarana air bersih, sanitasi maupun persyaratan kelengkapan prasarana jalan, ruang terbuka, serta kelengkapan fasilitas sosial lainnya. 
            Ciri-ciri pemukiman kumuh, seperti yang diungkapkan oleh Prof. DR. Parsudi Suparlan adalah :
1.     Fasilitas umum yang kondisinya kurang atau tidak memadai.
2.     Kondisi hunian rumah dan pemukiman serta penggunaan ruangnya mencerminkan penghuninya yang kurang mampu atau miskin.
3.     Adanya tingkat frekuensi dan kepadatan volume yang tinggi dalam penggunaan ruang-ruang yang ada di pemukiman kumuh sehingga mencerminkan adanya kesemrawutan tata ruang dan ketidakberdayaan ekonomi penghuninya.
4.     Pemukiman kumuh merupakan suatu satuan-satuan komuniti yang hidup secara tersendiri dengan batas-batas kebudayaan dan sosial yang jelas, yaitu terwujud sebagai :
a.     Sebuah komuniti tunggal, berada di tanah milik negara, dan karena itu dapat digolongkan sebagai hunian liar.
b.     Satuan komuniti tunggal yang merupakan bagian dari sebuah RT atau sebuah RW.
c.     Sebuah satuan komuniti tunggal yang terwujud sebagai sebuah RT atau RW atau bahkan terwujud sebagai sebuah Kelurahan, dan bukan hunian liar.
5.     Penghuni pemukiman kumuh secara sosial dan ekonomi tidak homogen, warganya mempunyai mata pencaharian dan tingkat kepadatan yang beranekaragam, begitu juga asal muasalnya. Dalam masyarakat pemukiman kumuh juga dikenal adanya  pelapisan sosial berdasarkan atas kemampuan ekonomi mereka yang berbeda-beda tersebut.
6.     Sebagian besar penghuni pemukiman kumuh adalah mereka yang bekerja di sektor informal atau mempunyai mata pencaharian tambahan di sektor informil.
            Berdasarkan  salah satu  ciri diatas, disebutkan bahwa permukiman kumuh  memiliki ciri  “kondisi hunian rumah dan pemukiman serta penggunaan ruangnya mencerminkan penghuninya yang kurang mampu atau miskin”.  Penggunaan ruang  tersebut  berada pada suatu ruang yang tidak sesuai dengan fungsi aslinya sehingga  berubah menjadi fungsi permukiman,  seperti  muncul pada daerah sempadan untuk kebutuhan Ruang Terbuka Hijau.
            Keadaan demikian menunjukan bahwa penghuninya yang kurang mampu untuk membeli atau menyewa rumah di daerah perkotaan dengan harga lahan/bangunan yang tinggi, sedangkan lahan kosong di daerah perkotaan sudah tidak ada. Permukiman  tersebut muncul dengan sarana dan prasarana yang kurang memadai, kondisi rumah yang kurang baik dengan kepadatan yang tinggi serta mengancam kondisi kesehatan penghuni. Dengan begitu, permukiman yang berada pada kawasan SUTET, semapadan sungai, semapadan rel kereta api, dan sempadan situ/danau merupakan kawasan permukiman kumuh. 
            Menurut Ditjen Bangda Depdagri, ciri-ciri permukiman atau daerah perkampungan kumuh dan miskin dipandang dari segi sosial ekonomi adalah sebagai berikut :
1.     Sebagian besar penduduknya berpenghasilan dan berpendidikan rendah, serta   memiliki sistem sosial yang rentan.
2.     Sebagaian besar penduduknya berusaha atau bekerja di sektor informal Lingkungan  permukiman, rumah, fasilitas dan prasarananya di bawah standar minimal sebagai  tempat bermukim, misalnya memiliki:
a.     Kepadatan penduduk yang tinggi > 200 jiwa/km2
b.     Kepadatan bangunan > 110 bangunan/Ha.
c.     Kondisi prasarana buruk (jalan, air bersih, sanitasi, drainase, dan persampahan).
d.     Kondisi fasilitas lingkungan terbatas dan buruk, terbangun <20% dari luas persampahan.
e.     Kondisi bangunan rumah tidak permanen dan tidak memenuhi syarat minimal  untuk tempat tinggal.
f.      Permukiman rawan terhadap banjir, kebakaran, penyakit dan keamanan.
g.     Kawasan permukiman dapat atau berpotensi menimbulkan ancaman (fisik dan  non fisik ) bagi manusia dan lingkungannya.
1.3 Faktor Penyebab Munculnya Kawasan Kumuh
            Sejalan dengan perkembangaan kota baik secara fisik, ekonomi, dan  sosial budaya, kota telah mengalami pergeseran peran, mulai dari paradigma  bahwa kota telah berkembang dengan berbagai konflik kepentingan, kemudian muncul paradigma bahwa kota berkembang sebagai proses ekologi budaya, sampai dengan munculnya  pandangan bahwa kota merupakan tempat berkumpulnya berbagai komunitas dan budaya dengan istilah “social world”, sebagaimana diungkapkan  oleh Howard Becker (1970an, dari Herbert Gans, 1962; Ernest Burgess, 1925, the Chicago School): yang memandang bahwa semua kehidupan di kota merupakan produk dari kebudayaan-kebudayaan yang tercipta oleh “dunia sosial” yang hidup di kota tersebut.
            Semakin kuatnya daya tarik kota ditambah dengan adanya berbagai keterbatasan secara ekonomi di perdesaan, telah mendorong sebagian besar warga perdesaan untuk mengadu nasib di perkotaan. Perkembangan kota yang pesat tersebut yang berfungsi sebagai pusat kegiatan serta menyediakan layanan primer dan sekunder, telah mengundang penduduk dari daerah pedesaan untuk datang ke perkotaan dengan harapan bisa mendapatkan kehidupan yang lebih baik serta berbagai kemudahan lain termasuk lapangan kerja, sehingga mengakibatkan kurang perhatiannya terhadap pertumbuhan kawasan perumahan dan permukiman penduduk maupun kegiatan ekonomi. Kondisi tersebut pada kenyataannya mengakibatkan :
1.     Terjadinya pertambahan penduduk  yang lebih pesat dari pada  kemampuan pemerintah dalam  menyediakan hunian serta layanan  primer lainnya secara  layak/memadai;
2.     Tumbuhnya kawasan perumahan dan permukiman yang kurang layak huni, yang pada berbagai daerah cenderung berkembang menjadi kumuh, dan tidak sesuai lagi dengan  standar lingkungan permukiman yang sehat;
3.     Kurangnya perhatian / partisipasi masyarakat akan pendayagunaan prasarana dan sarana lingkungan permukiman guna kenyamanan dan kemudahan dukungan kegiatan usaha ekonomi.
            Dari penjelasan diatas maka dapat ditegaskan bahwa permasalahan perumahan dan permukiman diperkotaan merupakan permasalahan yang komplek dan perlu mendapatkan perhatian, hal ini disebabkan karena rumah merupakan kebutuhan dasar manusia selain pangan dan sandang yang masih belum dapat dipenuhi oleh seluruh masyarakat. Bagi masyarakat berpenghasilan rendah, rumah merupakan asset dalam rangka pengembangan kehidupan social dan ekonomi bagi pemiliknya. Sedangkan pengadaan perumahan yang dilakukan oleh semua pelaku pembangunan pada hakekatnya dapat mendorong berkembangnya kegiatan ekonomi nasional. Oleh karena itu bidang perumahan dan permukiman merupakan program yang penting dan strategis dalam rangka pembangunan nasional.
            Pengadaan perumahan yang diselenggarakan secara formal oleh pemerintah dan pengembang swasta ternyata setiap tahun hanya mampu memenuhi 15 % dari kebutuhan perumahan nasional. Kekurangan sebesar 85 % dari kebutuhan nasional dipenuhi oleh masyarakat secara swadaya tanpa menggunakan fasilitas pendanaan formal. Pembangunan perumahan yang tidak terfasilitasi ini berlangsung terus sesuai dengan kebutuhan social dan kemampuan ekonomi yang dimiliki masing-masing individu yang mendorong masyarakat untuk menyelenggarakan pengadaan perumahan dan permukimannya secara swadaya.
            Dampak yang ditimbulkan dari kondisi yang demikian ini terutama pembangunan perumahan yang dilaksanakan oleh masyarakat berpenghasilan rendah adalah tumbuh dan berkembangnya permukiman-permukiman yang tidak terkendali dan terintegrasi dalam suatu perencanaan permukiman yang sesuai dengan arah pengembangan ruang kota. Pada akhirnya hal tersebut akan mengakibatkan permasalahan fisik lingkungan serta kerawanan sosial.
Dari penjelasan diatas maka dapat disimpulkan faktor penyebab munculnya kawasan kumuh (slum dan  squatter) dapat dibagi menjadi 2 (dua), yaitu faktor yang bersifat langsung dan faktor yang bersifat tidak langsung.
1)    Faktor Yang Bersifat Langsung
      Faktor-faktor yang bersifat langsung yang menyebabkan munculnya kawasan kumuh adalah faktor fisik (kondisi perumahan dan sanitasi lingkungan). Faktor lingkunganperumahan yang menimbulkankekumuhan meliputi kondisi rumah,status kepemilikan lahan, kepadatan bangunan, koefisien Dasar Bangunan (KDB), dll, sedangkan faktor sanitasi lingkungan yang menimbulkan permasalahan meliputi kondisi air bersih,MCK, pengelolaan sampah,pembuangan air limbah rumah tangga,drainase, dan jalan.
Kondisi lingkungan perumahan yang menyebabkan timbulnya  kekumuhan adalah keadaan rumah yang mencerminkan nilai kesehatan yang rendah, kepadatan bangunan yang tinggi, koefisien dasar bangunan (KDB) yang tinggi, serta status lahan yang tidak jelas (keberadaan rumah di daerah marjinal) seperti rumah yang berada di bantaran sungai, rel KA, dll. Rumah–rumah yang berada di daerah marjinal berpotensi terkena banjir pada saat musim hujan.
      Dengan demikian nilai kekumuhan tertinggi pada saat musim penghujan. Sedangkan faktor sanitiasi lingkungan yang menyebabkan kekumuhan seperti kurangnya sarana air bersih yang terlihat dari banyaknya masyarakat yang memanfaatkan air dari sumber yang tidak bersih sehingga berpotensi menimbulkan penyakit akibat mengkonsumsi air yang tidak sehat, rendahnya penggunaan MCK serta banyaknya masyarakat yang membuang  hajat secara tidak sehat, sehingga berpotensi menimbulkan pencemaran organic dan peningkatan bakteri coli, yang akan menimbulkan dampak lanjutan berupa gangguan kesehatan masyarakat.
      Belum adanya pengelolaan sampah yang baik menjadi salah satu unsur penentu timbulnya kekumuhan.
      Akibat tidak adanya sistem pengelolaan sampah dan kurangnya sarana pembuangan sampah mengakibatkan terjadinya penumpukan sampah di pekarangan. Tidak berfungsinya sistem jaringan drainase juga merupakan salah satu penyebab munculnya kawasan kumuh. Kondisi ini menimbulkan tambahan prolematika lingkungan antara lain terjadinya banjir (genangan) akibat penyumbatan sungai dansaluran air (drainase).
      Faktor terakhir yang dinilai memiliki dampak langsung terhadap timbulnya lingkungan kumuh adalah pembuangan limbah rumah tangga dan kondisi jaringan jalan. Rendahnya kualitas sistem pembuangan air limbah rumah tangga dan jaringan jalan juga menyebabkan suatu kawasan menjadi kumuh.

2.  Faktor Yang bersifat Tidak Langsung
      Faktor-faktor yang bersifat tidak langsung adalah faktor-faktor yang secara langsung tidak berhubungan dengan kekumuhan tetapi faktor-faktor ini berdampak terhadap faktor lain yang terbukti menyebabkan kekumuhan. Faktor-faktor yang dinilai berdampak tidak langsung terhadap kekumuhan adalah faktor ekonomi masyarakat, sosial dan budaya masyarakat. Faktor ekonomi yang berkaitan dengan kekumuhan yaitu taraf ekonomi masyarakat (pendapatan masyarakat), pekerjaan masyarakat. Penghasilan yang rendah menyebabkan masyarakat tidak memiliki dana untuk membuat kondisi rumah yang sehat, pengadaan MCK, tempat sampah dan lain-lain yang terkait dengan sarana lingkungan rumah yang sehat. Pengahasilan yang rendah juga mengakibatkan sebagian masyarakat membangun rumah tidak permanen di bantaran sungai, Rel KA, dll. Dengan demikian taraf ekonomi secara tidak langsung berpengaruh terhadap terjadinya kekumuhan.          




      Demikian juga halnya dengan pekerjaan masyarakat. Pekerjaan masyarakat yang kurang layak menyebabkan tingkat pendapatan yang rendah, sehingga kemampuan untuk membuat rumah yang layak huni dan sehatpun menjadi rendah. Faktor kedua yang berpengaruh tidak langsung terhadap kekumuhan adalah kondisi sosial kependudukan yang meliputi jumlah anggota keluarga, tingkat pendidikan, dan tingkat kesehatan.
      Jumlah anggota keluarga yang besar dengan tingkat pendidikan dan kesehatan yang rendah menyebabkan rendahnya kemampuan dan pengetahuan masyarakat terhadap permasalahan lingkungan yang akhirnya mendorong kesadaran yang rendah terhadap upaya menciptakan lingkungan dan kehidupan yang sehat. Rendahnya kesadaran masyarakat terhadap kesehatan lingkungan menyebabkan masyarakat melakukan aktivitas membuang hajat dan sampah yang berdampak negatif bagi lingkungan dan kesehatan dirinya. 
      Faktor lain yang juga ikut mempengaruhi munculnya kawasan kumuh yaitu faktor budaya yang berhubungan dengan masalah kebiasaan dan adat istiadat. Selain faktor sosial seperti tingkat pendidikan, faktor kebiasaan juga menjadi pendoroong munculnya kawasan kumuh. Faktor kebiasaan ini juga yang menyebabkan masyarakat merasa lebih enak membuang hajat di saluran air dan kebun sekalipun tidak sehat, dibanding membuang hajat di WC umum. Untuk itu beberapa WC umum yang dibangun olehpemerintah berada dalam kondisi terlantar tidak dimanfaatkan oleh masyarakat.
      Selain itu faktor adat istiadat seperti ”makan tidak makan yang penting kumpul” juga merupakan salah satu penyebab munculnya kawasan kumuh, walaupun bersifat tidak langsung. Namun adat istiadat seperti ini mendorong orang untuk tetap tinggal dalam suatu lingkungan perumahan walaupun tidak layak huni yang penting dekat dengan saudara, tanpa mau berusaha mencari lingkungan hunian yang lebih baik.




1.4 Kriteria Permukiman Kumuh
            Kriteria-kriteria yang ada dalam mengidentifikasi serta prioritas penanganan permukiman kumuh di perkotaan antara lain:
a.     Kriteria Permukiman Kumuh Menurut BPS
b.     Kriteria Permukiman Kumuh dalam Konsep Panduan Identifikasi Lokasi Kawasan Perumahan dan Permukiman Kumuh.
c.     Kriteria Kawasan Permukiman Kumuh Menurut Direktorat Pengembangan Permukiman, Departemen Pekerjaan Umum yaitu Konsep Pedoman Identifikasi Kawasan Permukiman Kumuh Penyangga Kota Metropolitan.

            Penentuan kriteria kawasan permukiman kumuh dilakukan dengan mempertimbangkan berbagai aspek atau dimensi seperti kesesuaian peruntukan lokasi dengan rencana tata ruang, status (kepemilikan) tanah, letak/kedudukan lokasi, tingkat kepadatan penduduk, tingkat kepadatan bangunan, kondisi fisik, sosial, ekonomi dan budaya masyarakat lokal. Selain itu digunakan kriteria sebagai kawasan penyangga kota metropolitan seperti kawasan permukiman kumuh teridentifikasi yang berdekatan atau berbatasan langsung dengan kawasan yang menjadi  bagian dari kota metropolitan. Berdasarkan uraian diatas maka untuk menetapkan lokasi kawasan permukiman kumuh digunakan kriteria-kriteria yang dikelompok kedalam kriteria:
v  Vitalitas Non Ekonomi 
      Kriteria Vitalitas Non Ekonomi dipertimbangkan sebagai penentuan penilaian kawasan kumuh dengan indikasi terhadap penanganan peremajaan kawasan kumuh yang dapat memberikan tingkat kelayakan kawasan permukiman tersebut apakah masih layak sebagai kawasan permukiman atau sudah tidak sesuai lagi.





Kriteria ini terdiri atas variabel sebagai berikut:
1.     Kesesuaian pemanfaatan ruang kawasan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Kota atau RDTK, dipandang perlu sebagai legalitas kawasan dalam ruang kota.
2.     Fisik bangunan perumahan permukiman dalam kawasan kumuh memiliki indikasi terhadap penanganan kawasan permukiman kumuh dalam hal kelayakan suatu hunian berdasarkan intensitas bangunan yang terdapat didalamnya.
3.     Kondisi Kependudukan dalam kawasan permukiman kumuh yang dinilai, mempunyai indikasi terhadap penanganan kawasan permukiman kumuh berdasarkan kerapatan dan kepadatan penduduk.
      Proses perhitungan tingkat kekumuhan terhadap kriteria vitalitas non ekonomi dengan menggunakan rumus mencari jumlah tertinggi dari nilai bobot dan  jumlah terendah dari nilai bobot pada kriteria sebagai alat ukur tingkat kekumuhan. Kemudian penilaian menggunakan batas ambang yang dikategorikan dalam penilaian dinilai kategori tinggi, sedang, dan rendah. Untuk mengklasifikasikan hasil kegiatan penilaian berdasarkan kategori tersebut maka dilakukan perhitungan terhadap akumulasi bobot yang telah dilakukan dengan formula sebagai berikut:
·       Dihitung koefisien ambang interval (rentang) dengan cara menggunakan nilai tertinggi (hasil penilaian tertinggi) dari hasil pembobotan dengan nilai terendah (hasil penilaian terendah) dari jumlah penilaian dibagi 3 (tiga).
·       Koefisien ambang rentang sebagai pengurang dari nilai tertinggi akan menghasilkan batas nilai paling bawah dari tertinggi.
·       Untuk kategori selanjutnya dilakukan pengurangan 1 angka terhadap batas terendah dari akan menghasilkan batas tertinggi untuk kategori sedang dan seterusnya. 
Maka, berdasarkan rumus tersebut diperoleh hasil tingkat kekumuhan sebagai berikut:
·       Kategori Kumuh Tinggi berada pada nilai : 120-150
·       Kategori Kumuh Sedang berada pada nilai : 89-119
·       Kategori Kumuh Rendah berada pada nilai : 60-88

v  Status Kepemilikan Tanah 
      Kriteria status tanah sebagai mana tertuang dalam Inpres No. 5 tahun 1990 tentang Peremajan Permukiman Kumuh adalah merupakan hal penting untuk kelancaran dan kemudahan pengelolaanya. Kemudahan pengurusan masalah status tanah dapat menjadikan jaminan terhadap ketertarikan investasi dalam suatu kawasan perkotaan. Perubah penilai dari kriteria ini meliputi:
1. Status pemilikan lahan kawasan perumahan permukiman.
2. Status sertifikat tanah yang ada.
      Proses perhitungan tingkat kekumuhan terhadap kriteria status tanah dengan menggunakan rumus mencari jumlah tertinggi dari nilai bobot dan jumlah terendah dari nilai bobot pada  kriteria sebagai alat ukur tingkat kekumuhan. Kemudian penilaian menggunakan batas ambang yang dikategorikan dalam penilaian dinilai kategori tinggi, sedang, dan rendah. Untuk mengklasifikasikan hasil kegiatan penilaian berdasarkan kategori tersebut maka  dilakukan perhitungan terhadap akumulasi bobot yang telah dilakukan dengan formula sebagai berikut:
·       Dihitung koefisien ambang interval (rentang) dengan cara menggunakan nilai tertinggi (hasil penilaian tertinggi) dari hasil pembobotan dengan nilai terendah (hasil penilaian terendah) dari jumlah penilaian dibagi 3 (tiga).
·       Koefisien ambang rentang sebagai pengurang dari nilai tertinggi akan menghasilkan batas nilai paling bawah dari tertinggi.
·       Untuk kategori selanjutnya dilakukan pengurangan 1 angka terhadap  batas terendah dari akan menghasilkan batas tertinggi untuk kategori sedang dan seterusnya.
Maka, berdasarkan rumus tersebut diperoleh hasil tingkat kekumuhan sebagai berikut: 
·       Kategori Kumuh Tinggi berada pada nilai : 80-100
·       Kategori Kumuh Sedang berada pada nilai : 59-79
·       Kategori Kumuh Rendah berada pada nilai : 40-58

v  Keadaan Prasarana dan Sarana
      Kriteria Kondisi Prasarana dan sarana yang mempengaruhi suatu kawasan permukiman menjadi kumuh, paling tidak terdiri atas:
1)    Kondisi Jalan
2)    Kondisi Drainase
3)    Kondisi Air bersih
4)    Kondisi Air limbah
5)    Kondisi Persampahan
      Proses perhitungan tingkat kekumuhan terhadap kriteria  prasarana dan sarana dengan menggunakan rumus mencari jumlah tertinggi dari nilai bobot dan jumlah terendah dari nilai bobot pada kriteria sebagai alat ukur tingkat kekumuhan. Kemudian penilaian menggunakan batas ambang yang dikategorikan dalam  penilaian dinilai kategori tinggi, sedang, dan rendah. Untuk mengklasifikasikan hasil kegiatan penilaian berdasarkan kategori tersebut maka dilakukan perhitungan terhadap akumulasi bobot  yang telah dilakukan dengan formula sebagai berikut:
·       Dihitung koefisien ambang interval (rentang) dengan cara menggunakan nilai tertinggi (hasil penilaian tertinggi) dari hasil pembobotan dengan nilai terendah (hasil penilaian terendah) dari jumlah penilaian dibagi 3 (tiga).
·       Koefisien ambang rentang sebagai pengurang dari  nilai tertinggi akan menghasilkan batas nilai paling bawah dari tertinggi.
·       Untuk kategori selanjutnya dilakukan pengurangan 1 angka terhadap batas terendah dari akan menghasilkan batas tertinggi untuk kategori sedang dan seterusnya.
Maka, berdasarkan rumus tersebut diperoleh hasil tingkat kekumuhan sebagai berikut: 
·       Kategori Kumuh Tinggi berada pada nilai : 200-250
·       Kategori Kumuh Sedang berada pada nilai : 149-199
·       Kategori Kumuh Rendah berada pada nilai : 100-148

v  Prioritas Penanganan
      Untuk menentukan lokasi prioritas penanganan, selanjutnya digunakan kriteria lokasi kawasan permukiman kumuh yang diindikasikan memiliki pengaruh terhadap (bagian) kawasan perkotaan metropolitan sekaligus sebagai kawasan permukiman penyangga. Kriteria ini akan menghasilkan lokasi kawasan permukiman yang prioritas ditangani karena letaknya yang berdekatan dengan kawasan perkotaan. Penentuan kriteria ini menggunakan variabel sebagai berikut:
1)    Kedekatan lokasi kawasan permukiman kumuh dengan pusat kota metropolitan.
2)    Kedekatan lokasi kawasan permukiman kumuh dengan kawasan pusat pertumbuhan bagian kota metropolitan.
3)    Kedekatan lokasi kawasan permukiman kumuh dengan kawasan lain (perbatasan) bagian kota metropolitan.
4)    Kedekatan lokasi kawasan kumuh dengan letak ibukota daerah yang bersangkutan.


      Kegiatan penilaian kawasan permukiman kumuh dilakukan dengan sistem pembobotan pada masing-masing kriteria diatas. Umumnya dimaksudkan bahwa setiap kriteria memiliki bobot pengaruh yang berbeda-beda. Selanjutnya dalam penentuan bobot kriteria bersifat relatif dan bergantung pada preferensi individu atau kelompok masyarakat dalam melihat pengaruh masing-masing kriteria.
      Dalam pembuatan laporan penelitian ini, yang digunakan adalah kriteria menurut Direktorat Pengembangan Permukiman yaitu Konsep Pedoman Identifikasi Kawasan Permukiman Kumuh Penyangga Kota Metropolitan. Beberapa kriteria yang digunakan dalam penilaian kawasan permukiman kumuh dalam studi ini antara lain: 
·       Kriteria vitalitas non ekonomi yang terdiri dari kesesuaian tata ruang,kondisi fisik bangunan yang digunakan adalah kepadatan bangunan, building coverage, bangunan temporer, dan jarak antar bangunan, serta kondisi kependudukan yang digunakan adalah kondisi kepadatan penduduk.
·       Kriteria vitalitas ekonomi yang terdiri dari letak strategis kawasan, jarak ketempat mata pencaharian, dan fungsi kawasan sekitar.
·       Kriteria status tanah yang terdiri dari dominasi sertifikat tanah, status kepemilikan lahan.
·       Kriteria prasarana dan sarana yang terdiri dari kondisi jalan lingkungan, kondisi drainase, kondisi air bersih, kondisi air limbah dan kondisi persampahan.
      Kriteria dari Direktorat Pengembangan Permukiman Ditjen Cipta Karya Departemen Pekerjaan Umum dimodifikasi atau ada beberapa kriteria yang tidak dicantumkan dalam penilaian oleh peneliti agar dapat  memudahkan proses pengumpulan data. Kriteria-kriteria tersebut digunakan untuk membantu peneliti dalam melakukan penilaian terhadap wilayah objek penelitian.


Ø  Kriteria Lokasi
1.     Kota Strategis (Metropolitan, Besar, Ibukota Provinsi)
2.     Kota/Lokasi Rawan Bencana (Alam, Penyakit, Sosial, Kebakaran)
3.     Kota Prioritas dan diprogramkan Pemerintah Kota/Kabupaten (APBD)
4.     Kawasan Kumuh di Pusat Kota, Pusat Kegiatan Ekonomi Kota/Regional, dan Kawasan Kumuh Nelayan.
Ø  Konsep Penanganan Kawasan Kumuh
       Penanganan lingkungan kumuh bersifat spesifik dimana kumuh adalah kriteria utama penanganan,
       Proses penanganan lingkungan kumuh khususnya pada perencanaan program perlu dilakukan dengan cara yang benar dan terarah
       Program Penanganan Lingkungan kumuh adalah kegiatan yang bersifat lintas sektoral, maka penting bagi semua lembaga terkait untuk memahami lingkup tindakan penanganan yang menjadi tanggung jawab lembaga/organisasinya.
Ø  Kriteria Kumuh
       Keadaan tidak layak
       Kondisi kesehatan tidak memenuhi syarat
       Ketidaknyamanan dan ketidakamanan
       Kepadatan bangunan tinggi
       Rawan terjangkit berbagai penyakit
       Tingkat pelayanan prasarana dan sarana lingkungan  tidak memadai
       Membahayakan keberlangsungan hidup dan penghidupan penghuninya
Ø  Indikator Kumuh
       Kondisi lokasi
       Kondisi kependudukan
       Kondisi Bangunan
       Kondisi prasarana dan sarana
       Kondisi Sosial Ekonomi


Bagan Proses Penentuan Kekumuhan Kawasan
Upaya Mengatasi Permukiman Kumuh
            Kemiskinan merupakan salah satu penyebab timbulnya pemukiman kumuh dikawasan perkotaan. Pada dasarnya kemiskinan dapat ditanggulangi dengan adanya pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan pemerataan, peningkatan lapanganpekerjaan dan pendapatan kelompok miskin serta peningkatan pelayanan dasarbagi kelompok miskin dan pengembangan institusi penanggulangan kemiskinan.Peningkatan pelayanan dasar ini dapat diwujudkan dengan peningkatan air bersih, sanitasi, penyediaan serta usaha perbaikan perumahan dan lingkungan pemukiman pada umumnya.
Cara Mengatasi Permukiman Kumuh:
1.     Program Perbaikan Kampung, yang ditujukan untuk memperbaiki kondisikesehatan lingkungan dan sarana lingkungan yang ada.
2.     Program uji coba peremajaan lingkungan kumuh, yang dilakukan denganmembongkar lingkungan kumuh dan perumahan kumuh yang ada sertamenggantinya dengan rumah susun yang memenuhi syarat.

PENANGANAN PERMUKIMAN TRADISIONAL
2.1 Definisi Revitalisasi
upaya menghidupkan kembali lingkungan yang telah mati, yang pada masa silam pernah hidup, atau mengendalikan dan mengembangkan lingkungan untuk menemukan kembali potensi yang dimiliki atau pernah dimiliki atau yang seharusnya dimiliki sebuah lingkungan untuk dapat meningkatkan kualitas lingkungan (fungsional, fisik dan visual, serta alam) yang selanjutnya akan berdampak pada peningkatan kualitas hidup dari penghuninya.
2.2 Pola Penanganan
       Berazaskan Tridaya (Manusia, Lingkungan dan Usaha)
       Pembangunan Bertumpu Pada Masyarakat (PBPM)
       Mengacu kepada kebijakan yang ada
2.3 Arahan Kegiatan
       Komprehensif
       Partisipatif
       Terencana
       Berkelanjutan
2.4 Pendekatan
1.     Koordinasi dan sinkronisasi dengan Pemerintah Daerah;
2.     Pendekatan TRIDAYA sebagai upaya pemberdayaan terhadap aspek manusia, lingkungan dan kegiatan ekonomi masyarakat setempat;
3.     Azas “BERKELANJUTAN” sebagai salah satu pertimbangan penting untuk menjamin kelangsungan kegiatan;
4.     Rembug warga dalam upaya menggali sebanyak mungkin aspirasi masyarakat, selain itu juga melakukan pelatihan keterampilan teknis dalam upaya pemberdayaan masyarakat.
2.5 Kriteria Lokasi
a.     Lingkungan permukiman dan bangunan tradisional (kedaerahan), bersejarah, perdagangan, kelompok industri rumah tangga yang mempunyai ciri khas tertentu.
b.     Secara sosial-budaya perlu untuk di revive (pernah “hidup dan dikenal”)
c.     Secara ekonomi, pernah dan punya potensi untuk dikembangkan.
d.     Lingkungan permukiman dan bangunan yang bercirikan heritage (pusaka).
2.6 Potensi Kawasan
       lingkungan fisik perumahan tradisional yang unik dan langka yang sebagian besar sudah berumur dari seratus tahun.
       Adanya setra ari-ari yang masih lestari sampai saat ini).
       Adanya upacara adat /wali yang dilaksanakan setiap bulan dengan mengundang secara bergiliran dari 28 desa yang berhubungan dengan Desa Bayung Gede
       Aksesibilitas yang cukup baik menuju dan dari Desa Bayung Gede yang didukung prasarana jaringan jalan propinsi ke kota-kota yang ada di Bali terutama Bali bagian timur.
       Lokasi yang berdekatan / berbatasan dengan objek wisata Danau Batur.
       Lingkungan alam yang mendukung kehidupan masyarakat desa.