1.1
Pengertian Kumuh
Kumuh
adalah kesan atau gambaran secara umum tentang sikap dan tingkah laku yang
rendah dilihat dari standar hidup dan penghasilan kelas menengah. Dengan kata lain, kumuh dapat diartikan sebagai
tanda atau cap yang diberikan golongan atas yang sudah mapan kepada golongan
bawah yang belum mapan.
Menurut
kamus ilmu-ilmu sosial Slum’s diartikan sebagai suatu daerah yang kotor
yang bangunan-bangunannya sangat tidak
memenuhi syarat. Jadi daerah slum’s dapat diartikan sebagai daerah yang
ditempati oleh penduduk dengan status ekonomi rendah dan bangunan-bangunan
perumahannya tidak memenuhi syarat untuk disebut sebagai perumahan yang sehat.
Slum’s merupakan lingkungan hunian
yang legal tetapi kondisinya tidak layak huni atau tidak memnuhi persyaratan
sebagai tempat permukiman (Utomo Is Hadri, 2000). Slum’s yaitu permukiman
diatas lahan yang sah yang sudah sangat merosot (kumuh) baik perumahan maupun
permukimannya (Herlianto, 1985). Dalam kamus sosiologi Slum’s yaitu diartikan
sebagai daerah penduduk yang berstatus ekonomi rendah dengan gedung-gedung yang
tidak memenuhi syarat kesehatan. (Sukamto Soerjono, 1985).
1.2
Permukiman Kumuh
Diana
Puspitasari dari Dinas Tata Ruang dan
Permukiman (Distarkim) Kota Depok mengatakan, definisi permukiman kumuh
berdasarkan karakteristiknya adalah suatu lingkungan permukiman yang telah
mengalami penurunan kualitas. Dengan kata lain memburuk baik secara fisik,
sosial ekonomi maupun sosial budaya. Dan tidak memungkinkan dicapainya
kehidupan yang layak bahkan cenderung membahayakan bagi penghuninya.
Menurut Diana, ciri permukiman kumuh
merupakan permukiman dengan tingkat
hunian dan kepadatan bangunan yang sangat tinggi, bangunan tidak teratur, kualitas rumah yang
sangat rendah. Selain itu tidak memadainya prasarana dan sarana dasar seperti
air minum, jalan, air limbah dan sampah.
Kawasan
kumuh adalah kawasan dimana rumah dan kondisi hunian masyarakat di kawasan
tersebut sangat buruk. Rumah maupun sarana dan prasarana yang ada tidak sesuai dengan standar yang berlaku, baik standar
kebutuhan, kepadatan bangunan,
persyaratan rumah sehat, kebutuhan sarana air bersih, sanitasi maupun
persyaratan kelengkapan prasarana jalan, ruang terbuka, serta kelengkapan
fasilitas sosial lainnya.
Ciri-ciri
pemukiman kumuh, seperti yang diungkapkan oleh Prof. DR. Parsudi Suparlan
adalah :
1. Fasilitas
umum yang kondisinya kurang atau tidak memadai.
2. Kondisi
hunian rumah dan pemukiman serta penggunaan ruangnya mencerminkan penghuninya
yang kurang mampu atau miskin.
3. Adanya
tingkat frekuensi dan kepadatan volume yang tinggi dalam penggunaan ruang-ruang
yang ada di pemukiman kumuh sehingga mencerminkan adanya kesemrawutan tata
ruang dan ketidakberdayaan ekonomi penghuninya.
4. Pemukiman
kumuh merupakan suatu satuan-satuan komuniti yang hidup secara tersendiri
dengan batas-batas kebudayaan dan sosial yang jelas, yaitu terwujud sebagai :
a. Sebuah
komuniti tunggal, berada di tanah milik negara, dan karena itu dapat
digolongkan sebagai hunian liar.
b. Satuan
komuniti tunggal yang merupakan bagian dari sebuah RT atau sebuah RW.
c. Sebuah
satuan komuniti tunggal yang terwujud sebagai sebuah RT atau RW atau bahkan
terwujud sebagai sebuah Kelurahan, dan bukan hunian liar.
5. Penghuni
pemukiman kumuh secara sosial dan ekonomi tidak homogen, warganya mempunyai
mata pencaharian dan tingkat kepadatan yang beranekaragam, begitu juga asal
muasalnya. Dalam masyarakat pemukiman kumuh juga dikenal adanya pelapisan sosial berdasarkan atas kemampuan
ekonomi mereka yang berbeda-beda tersebut.
6. Sebagian
besar penghuni pemukiman kumuh adalah mereka yang bekerja di sektor informal
atau mempunyai mata pencaharian tambahan di sektor informil.
Berdasarkan salah satu
ciri diatas, disebutkan bahwa permukiman kumuh memiliki ciri
“kondisi hunian rumah dan pemukiman serta penggunaan ruangnya
mencerminkan penghuninya yang kurang mampu atau miskin”. Penggunaan ruang tersebut
berada pada suatu ruang yang tidak sesuai dengan fungsi aslinya
sehingga berubah menjadi fungsi
permukiman, seperti muncul pada daerah sempadan untuk kebutuhan
Ruang Terbuka Hijau.
Keadaan
demikian menunjukan bahwa penghuninya yang kurang mampu untuk membeli atau
menyewa rumah di daerah perkotaan dengan harga lahan/bangunan yang tinggi,
sedangkan lahan kosong di daerah perkotaan sudah tidak ada. Permukiman tersebut muncul dengan sarana dan prasarana
yang kurang memadai, kondisi rumah yang kurang baik dengan kepadatan yang
tinggi serta mengancam kondisi kesehatan penghuni. Dengan begitu, permukiman
yang berada pada kawasan SUTET, semapadan sungai, semapadan rel kereta api, dan
sempadan situ/danau merupakan kawasan permukiman kumuh.
Menurut
Ditjen Bangda Depdagri, ciri-ciri permukiman atau daerah perkampungan kumuh dan
miskin dipandang dari segi sosial ekonomi adalah sebagai berikut :
1. Sebagian
besar penduduknya berpenghasilan dan berpendidikan rendah, serta memiliki sistem sosial yang rentan.
2. Sebagaian
besar penduduknya berusaha atau bekerja di sektor informal Lingkungan permukiman, rumah, fasilitas dan prasarananya
di bawah standar minimal sebagai tempat
bermukim, misalnya memiliki:
a. Kepadatan
penduduk yang tinggi > 200 jiwa/km2
b. Kepadatan
bangunan > 110 bangunan/Ha.
c. Kondisi
prasarana buruk (jalan, air bersih, sanitasi, drainase, dan persampahan).
d. Kondisi
fasilitas lingkungan terbatas dan buruk, terbangun <20% dari luas
persampahan.
e. Kondisi
bangunan rumah tidak permanen dan tidak memenuhi syarat minimal untuk tempat tinggal.
f. Permukiman
rawan terhadap banjir, kebakaran, penyakit dan keamanan.
g. Kawasan
permukiman dapat atau berpotensi menimbulkan ancaman (fisik dan non fisik ) bagi manusia dan lingkungannya.
1.3
Faktor Penyebab Munculnya Kawasan Kumuh
Sejalan
dengan perkembangaan kota baik secara fisik, ekonomi, dan sosial budaya, kota telah mengalami
pergeseran peran, mulai dari paradigma
bahwa kota telah berkembang dengan berbagai konflik kepentingan,
kemudian muncul paradigma bahwa kota berkembang sebagai proses ekologi budaya,
sampai dengan munculnya pandangan bahwa
kota merupakan tempat berkumpulnya berbagai komunitas dan budaya dengan istilah
“social world”, sebagaimana diungkapkan
oleh Howard Becker (1970an, dari Herbert Gans, 1962; Ernest Burgess,
1925, the Chicago School): yang memandang bahwa semua kehidupan di kota
merupakan produk dari kebudayaan-kebudayaan yang tercipta oleh “dunia sosial”
yang hidup di kota tersebut.
Semakin
kuatnya daya tarik kota ditambah dengan adanya berbagai keterbatasan secara
ekonomi di perdesaan, telah mendorong sebagian besar warga perdesaan untuk
mengadu nasib di perkotaan. Perkembangan kota yang pesat tersebut yang
berfungsi sebagai pusat kegiatan serta menyediakan layanan primer dan sekunder,
telah mengundang penduduk dari daerah pedesaan untuk datang ke perkotaan dengan
harapan bisa mendapatkan kehidupan yang lebih baik serta berbagai kemudahan
lain termasuk lapangan kerja, sehingga mengakibatkan kurang perhatiannya
terhadap pertumbuhan kawasan perumahan dan permukiman penduduk maupun kegiatan
ekonomi. Kondisi tersebut pada kenyataannya mengakibatkan :
1. Terjadinya
pertambahan penduduk yang lebih pesat
dari pada kemampuan pemerintah
dalam menyediakan hunian serta layanan primer lainnya secara layak/memadai;
2. Tumbuhnya
kawasan perumahan dan permukiman yang kurang layak huni, yang pada berbagai
daerah cenderung berkembang menjadi kumuh, dan tidak sesuai lagi dengan standar lingkungan permukiman yang sehat;
3. Kurangnya
perhatian / partisipasi masyarakat akan pendayagunaan prasarana dan sarana
lingkungan permukiman guna kenyamanan dan kemudahan dukungan kegiatan usaha
ekonomi.
Dari
penjelasan diatas maka dapat ditegaskan bahwa permasalahan perumahan dan
permukiman diperkotaan merupakan permasalahan yang komplek dan perlu mendapatkan
perhatian, hal ini disebabkan karena rumah merupakan kebutuhan dasar manusia
selain pangan dan sandang yang masih belum dapat dipenuhi oleh seluruh
masyarakat. Bagi masyarakat berpenghasilan rendah, rumah merupakan asset dalam
rangka pengembangan kehidupan social dan ekonomi bagi pemiliknya. Sedangkan
pengadaan perumahan yang dilakukan oleh semua pelaku pembangunan pada
hakekatnya dapat mendorong berkembangnya kegiatan ekonomi nasional. Oleh karena
itu bidang perumahan dan permukiman merupakan program yang penting dan
strategis dalam rangka pembangunan nasional.
Pengadaan
perumahan yang diselenggarakan secara formal oleh pemerintah dan pengembang
swasta ternyata setiap tahun hanya mampu memenuhi 15 % dari kebutuhan perumahan
nasional. Kekurangan sebesar 85 % dari kebutuhan nasional dipenuhi oleh
masyarakat secara swadaya tanpa menggunakan fasilitas pendanaan formal.
Pembangunan perumahan yang tidak terfasilitasi ini berlangsung terus sesuai
dengan kebutuhan social dan kemampuan ekonomi yang dimiliki masing-masing
individu yang mendorong masyarakat untuk menyelenggarakan pengadaan perumahan
dan permukimannya secara swadaya.
Dampak
yang ditimbulkan dari kondisi yang demikian ini terutama pembangunan perumahan
yang dilaksanakan oleh masyarakat berpenghasilan rendah adalah tumbuh dan
berkembangnya permukiman-permukiman yang tidak terkendali dan terintegrasi
dalam suatu perencanaan permukiman yang sesuai dengan arah pengembangan ruang
kota. Pada akhirnya hal tersebut akan mengakibatkan permasalahan fisik
lingkungan serta kerawanan sosial.
Dari penjelasan diatas maka dapat
disimpulkan faktor penyebab munculnya kawasan kumuh (slum dan squatter) dapat dibagi menjadi 2 (dua), yaitu
faktor yang bersifat langsung dan faktor yang bersifat tidak langsung.
1)
Faktor
Yang Bersifat Langsung
Faktor-faktor yang bersifat langsung yang menyebabkan munculnya
kawasan kumuh adalah faktor fisik (kondisi perumahan dan sanitasi lingkungan).
Faktor lingkunganperumahan yang menimbulkankekumuhan meliputi kondisi
rumah,status kepemilikan lahan, kepadatan bangunan, koefisien Dasar Bangunan
(KDB), dll, sedangkan faktor sanitasi lingkungan yang menimbulkan permasalahan
meliputi kondisi air bersih,MCK, pengelolaan sampah,pembuangan air limbah rumah
tangga,drainase, dan jalan.
Kondisi lingkungan
perumahan yang menyebabkan timbulnya
kekumuhan adalah keadaan rumah yang mencerminkan nilai kesehatan yang
rendah, kepadatan bangunan yang tinggi, koefisien dasar bangunan (KDB) yang
tinggi, serta status lahan yang tidak jelas (keberadaan rumah di daerah
marjinal) seperti rumah yang berada di bantaran sungai, rel KA, dll.
Rumah–rumah yang berada di daerah marjinal berpotensi terkena banjir pada saat
musim hujan.
Dengan demikian nilai kekumuhan tertinggi pada saat musim
penghujan. Sedangkan faktor sanitiasi lingkungan yang menyebabkan kekumuhan
seperti kurangnya sarana air bersih yang terlihat dari banyaknya masyarakat yang
memanfaatkan air dari sumber yang tidak bersih sehingga berpotensi menimbulkan
penyakit akibat mengkonsumsi air yang tidak sehat, rendahnya penggunaan MCK
serta banyaknya masyarakat yang membuang
hajat secara tidak sehat, sehingga berpotensi menimbulkan pencemaran
organic dan peningkatan bakteri coli, yang akan menimbulkan dampak lanjutan
berupa gangguan kesehatan masyarakat.
Belum adanya pengelolaan sampah yang baik menjadi salah satu
unsur penentu timbulnya kekumuhan.
Akibat tidak adanya sistem pengelolaan sampah dan kurangnya
sarana pembuangan sampah mengakibatkan terjadinya penumpukan sampah di
pekarangan. Tidak berfungsinya sistem jaringan drainase juga merupakan salah
satu penyebab munculnya kawasan kumuh. Kondisi ini menimbulkan tambahan prolematika
lingkungan antara lain terjadinya banjir (genangan) akibat penyumbatan sungai
dansaluran air (drainase).
Faktor terakhir yang dinilai memiliki dampak langsung terhadap
timbulnya lingkungan kumuh adalah pembuangan limbah rumah tangga dan kondisi jaringan
jalan. Rendahnya kualitas sistem pembuangan air limbah rumah tangga dan
jaringan jalan juga menyebabkan suatu kawasan menjadi kumuh.
2. Faktor Yang bersifat Tidak Langsung
Faktor-faktor yang bersifat tidak langsung adalah faktor-faktor
yang secara langsung tidak berhubungan dengan kekumuhan tetapi faktor-faktor
ini berdampak terhadap faktor lain yang terbukti menyebabkan kekumuhan.
Faktor-faktor yang dinilai berdampak tidak langsung terhadap kekumuhan adalah
faktor ekonomi masyarakat, sosial dan budaya masyarakat. Faktor ekonomi yang
berkaitan dengan kekumuhan yaitu taraf ekonomi masyarakat (pendapatan
masyarakat), pekerjaan masyarakat. Penghasilan yang rendah menyebabkan
masyarakat tidak memiliki dana untuk membuat kondisi rumah yang sehat, pengadaan
MCK, tempat sampah dan lain-lain yang terkait dengan sarana lingkungan rumah
yang sehat. Pengahasilan yang rendah juga mengakibatkan sebagian masyarakat
membangun rumah tidak permanen di bantaran sungai, Rel KA, dll. Dengan demikian
taraf ekonomi secara tidak langsung berpengaruh terhadap terjadinya kekumuhan.
Demikian juga halnya dengan pekerjaan masyarakat. Pekerjaan
masyarakat yang kurang layak menyebabkan tingkat pendapatan yang rendah,
sehingga kemampuan untuk membuat rumah yang layak huni dan sehatpun menjadi
rendah. Faktor kedua yang berpengaruh tidak langsung terhadap kekumuhan adalah
kondisi sosial kependudukan yang meliputi jumlah anggota keluarga, tingkat
pendidikan, dan tingkat kesehatan.
Jumlah anggota keluarga yang besar dengan tingkat pendidikan
dan kesehatan yang rendah menyebabkan rendahnya kemampuan dan pengetahuan
masyarakat terhadap permasalahan lingkungan yang akhirnya mendorong kesadaran
yang rendah terhadap upaya menciptakan lingkungan dan kehidupan yang sehat.
Rendahnya kesadaran masyarakat terhadap kesehatan lingkungan menyebabkan
masyarakat melakukan aktivitas membuang hajat dan sampah yang berdampak negatif
bagi lingkungan dan kesehatan dirinya.
Faktor lain yang juga ikut mempengaruhi munculnya kawasan kumuh
yaitu faktor budaya yang berhubungan dengan masalah kebiasaan dan adat
istiadat. Selain faktor sosial seperti tingkat pendidikan, faktor kebiasaan
juga menjadi pendoroong munculnya kawasan kumuh. Faktor kebiasaan ini juga yang
menyebabkan masyarakat merasa lebih enak membuang hajat di saluran air dan
kebun sekalipun tidak sehat, dibanding membuang hajat di WC umum. Untuk itu
beberapa WC umum yang dibangun olehpemerintah berada dalam kondisi terlantar
tidak dimanfaatkan oleh masyarakat.
Selain itu faktor adat istiadat seperti ”makan tidak makan yang
penting kumpul” juga merupakan salah satu penyebab munculnya kawasan kumuh,
walaupun bersifat tidak langsung. Namun adat istiadat seperti ini mendorong
orang untuk tetap tinggal dalam suatu lingkungan perumahan walaupun tidak layak
huni yang penting dekat dengan saudara, tanpa mau berusaha mencari lingkungan
hunian yang lebih baik.
1.4
Kriteria Permukiman Kumuh
Kriteria-kriteria
yang ada dalam mengidentifikasi serta prioritas penanganan permukiman kumuh di
perkotaan antara lain:
a.
Kriteria Permukiman Kumuh Menurut BPS
b.
Kriteria Permukiman Kumuh dalam Konsep
Panduan Identifikasi Lokasi Kawasan Perumahan dan Permukiman Kumuh.
c.
Kriteria Kawasan Permukiman Kumuh
Menurut Direktorat Pengembangan Permukiman, Departemen Pekerjaan Umum yaitu
Konsep Pedoman Identifikasi Kawasan Permukiman Kumuh Penyangga Kota
Metropolitan.
Penentuan
kriteria kawasan permukiman kumuh dilakukan dengan mempertimbangkan berbagai
aspek atau dimensi seperti kesesuaian peruntukan lokasi dengan rencana tata
ruang, status (kepemilikan) tanah, letak/kedudukan lokasi, tingkat kepadatan
penduduk, tingkat kepadatan bangunan, kondisi fisik, sosial, ekonomi dan budaya
masyarakat lokal. Selain itu digunakan kriteria sebagai kawasan penyangga kota
metropolitan seperti kawasan permukiman kumuh teridentifikasi yang berdekatan
atau berbatasan langsung dengan kawasan yang menjadi bagian dari kota metropolitan. Berdasarkan
uraian diatas maka untuk menetapkan lokasi kawasan permukiman kumuh digunakan
kriteria-kriteria yang dikelompok kedalam kriteria:
v Vitalitas Non Ekonomi
Kriteria Vitalitas Non Ekonomi dipertimbangkan sebagai
penentuan penilaian kawasan kumuh dengan indikasi terhadap penanganan
peremajaan kawasan kumuh yang dapat memberikan tingkat kelayakan kawasan permukiman
tersebut apakah masih layak sebagai kawasan permukiman atau sudah tidak sesuai
lagi.
Kriteria ini terdiri
atas variabel sebagai berikut:
1. Kesesuaian
pemanfaatan ruang kawasan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Kota atau RDTK,
dipandang perlu sebagai legalitas kawasan dalam ruang kota.
2. Fisik
bangunan perumahan permukiman dalam kawasan kumuh memiliki indikasi terhadap
penanganan kawasan permukiman kumuh dalam hal kelayakan suatu hunian
berdasarkan intensitas bangunan yang terdapat didalamnya.
3. Kondisi
Kependudukan dalam kawasan permukiman kumuh yang dinilai, mempunyai indikasi
terhadap penanganan kawasan permukiman kumuh berdasarkan kerapatan dan
kepadatan penduduk.
Proses perhitungan tingkat kekumuhan terhadap kriteria
vitalitas non ekonomi dengan menggunakan rumus mencari jumlah tertinggi dari
nilai bobot dan jumlah terendah dari
nilai bobot pada kriteria sebagai alat ukur tingkat kekumuhan. Kemudian
penilaian menggunakan batas ambang yang dikategorikan dalam penilaian dinilai
kategori tinggi, sedang, dan rendah. Untuk mengklasifikasikan hasil kegiatan
penilaian berdasarkan kategori tersebut maka dilakukan perhitungan terhadap
akumulasi bobot yang telah dilakukan dengan formula sebagai berikut:
· Dihitung
koefisien ambang interval (rentang) dengan cara menggunakan nilai tertinggi
(hasil penilaian tertinggi) dari hasil pembobotan dengan nilai terendah (hasil
penilaian terendah) dari jumlah penilaian dibagi 3 (tiga).
· Koefisien
ambang rentang sebagai pengurang dari nilai tertinggi akan menghasilkan batas
nilai paling bawah dari tertinggi.
· Untuk
kategori selanjutnya dilakukan pengurangan 1 angka terhadap batas terendah dari
akan menghasilkan batas tertinggi untuk kategori sedang dan seterusnya.
Maka, berdasarkan rumus
tersebut diperoleh hasil tingkat kekumuhan sebagai berikut:
· Kategori
Kumuh Tinggi berada pada nilai : 120-150
· Kategori
Kumuh Sedang berada pada nilai : 89-119
· Kategori
Kumuh Rendah berada pada nilai : 60-88
v Status Kepemilikan Tanah
Kriteria status tanah sebagai mana tertuang dalam Inpres No. 5
tahun 1990 tentang Peremajan Permukiman Kumuh adalah merupakan hal penting
untuk kelancaran dan kemudahan pengelolaanya. Kemudahan pengurusan masalah
status tanah dapat menjadikan jaminan terhadap ketertarikan investasi dalam
suatu kawasan perkotaan. Perubah penilai dari kriteria ini meliputi:
1. Status pemilikan
lahan kawasan perumahan permukiman.
2. Status sertifikat
tanah yang ada.
Proses perhitungan tingkat kekumuhan terhadap kriteria status
tanah dengan menggunakan rumus mencari jumlah tertinggi dari nilai bobot dan
jumlah terendah dari nilai bobot pada
kriteria sebagai alat ukur tingkat kekumuhan. Kemudian penilaian
menggunakan batas ambang yang dikategorikan dalam penilaian dinilai kategori
tinggi, sedang, dan rendah. Untuk mengklasifikasikan hasil kegiatan penilaian
berdasarkan kategori tersebut maka
dilakukan perhitungan terhadap akumulasi bobot yang telah dilakukan
dengan formula sebagai berikut:
· Dihitung
koefisien ambang interval (rentang) dengan cara menggunakan nilai tertinggi
(hasil penilaian tertinggi) dari hasil pembobotan dengan nilai terendah (hasil
penilaian terendah) dari jumlah penilaian dibagi 3 (tiga).
· Koefisien
ambang rentang sebagai pengurang dari nilai tertinggi akan menghasilkan batas
nilai paling bawah dari tertinggi.
· Untuk
kategori selanjutnya dilakukan pengurangan 1 angka terhadap batas terendah dari akan menghasilkan batas
tertinggi untuk kategori sedang dan seterusnya.
Maka, berdasarkan rumus
tersebut diperoleh hasil tingkat kekumuhan sebagai berikut:
· Kategori
Kumuh Tinggi berada pada nilai : 80-100
· Kategori
Kumuh Sedang berada pada nilai : 59-79
· Kategori
Kumuh Rendah berada pada nilai : 40-58
v Keadaan Prasarana dan Sarana
Kriteria Kondisi Prasarana dan sarana yang mempengaruhi suatu
kawasan permukiman menjadi kumuh, paling tidak terdiri atas:
1) Kondisi
Jalan
2) Kondisi
Drainase
3) Kondisi
Air bersih
4) Kondisi
Air limbah
5) Kondisi
Persampahan
Proses perhitungan tingkat kekumuhan terhadap kriteria prasarana dan sarana dengan menggunakan rumus
mencari jumlah tertinggi dari nilai bobot dan jumlah terendah dari nilai bobot
pada kriteria sebagai alat ukur tingkat kekumuhan. Kemudian penilaian
menggunakan batas ambang yang dikategorikan dalam penilaian dinilai kategori tinggi, sedang,
dan rendah. Untuk mengklasifikasikan hasil kegiatan penilaian berdasarkan
kategori tersebut maka dilakukan perhitungan terhadap akumulasi bobot yang telah dilakukan dengan formula sebagai
berikut:
· Dihitung
koefisien ambang interval (rentang) dengan cara menggunakan nilai tertinggi
(hasil penilaian tertinggi) dari hasil pembobotan dengan nilai terendah (hasil
penilaian terendah) dari jumlah penilaian dibagi 3 (tiga).
· Koefisien
ambang rentang sebagai pengurang dari
nilai tertinggi akan menghasilkan batas nilai paling bawah dari
tertinggi.
· Untuk
kategori selanjutnya dilakukan pengurangan 1 angka terhadap batas terendah dari
akan menghasilkan batas tertinggi untuk kategori sedang dan seterusnya.
Maka, berdasarkan rumus
tersebut diperoleh hasil tingkat kekumuhan sebagai berikut:
· Kategori
Kumuh Tinggi berada pada nilai : 200-250
· Kategori
Kumuh Sedang berada pada nilai : 149-199
· Kategori
Kumuh Rendah berada pada nilai : 100-148
v Prioritas Penanganan
Untuk menentukan lokasi prioritas penanganan, selanjutnya
digunakan kriteria lokasi kawasan permukiman kumuh yang diindikasikan memiliki
pengaruh terhadap (bagian) kawasan perkotaan metropolitan sekaligus sebagai
kawasan permukiman penyangga. Kriteria ini akan menghasilkan lokasi kawasan permukiman
yang prioritas ditangani karena letaknya yang berdekatan dengan kawasan
perkotaan. Penentuan kriteria ini menggunakan variabel sebagai berikut:
1) Kedekatan
lokasi kawasan permukiman kumuh dengan pusat kota metropolitan.
2) Kedekatan
lokasi kawasan permukiman kumuh dengan kawasan pusat pertumbuhan bagian kota
metropolitan.
3) Kedekatan
lokasi kawasan permukiman kumuh dengan kawasan lain (perbatasan) bagian kota
metropolitan.
4) Kedekatan
lokasi kawasan kumuh dengan letak ibukota daerah yang bersangkutan.
Kegiatan penilaian kawasan permukiman kumuh dilakukan dengan
sistem pembobotan pada masing-masing kriteria diatas. Umumnya dimaksudkan bahwa
setiap kriteria memiliki bobot pengaruh yang berbeda-beda. Selanjutnya dalam
penentuan bobot kriteria bersifat relatif dan bergantung pada preferensi
individu atau kelompok masyarakat dalam melihat pengaruh masing-masing
kriteria.
Dalam pembuatan laporan penelitian ini, yang digunakan adalah
kriteria menurut Direktorat Pengembangan Permukiman yaitu Konsep Pedoman Identifikasi
Kawasan Permukiman Kumuh Penyangga Kota Metropolitan. Beberapa kriteria yang
digunakan dalam penilaian kawasan permukiman kumuh dalam studi ini antara
lain:
· Kriteria
vitalitas non ekonomi yang terdiri dari kesesuaian tata ruang,kondisi fisik
bangunan yang digunakan adalah kepadatan bangunan, building coverage, bangunan
temporer, dan jarak antar bangunan, serta kondisi kependudukan yang digunakan
adalah kondisi kepadatan penduduk.
· Kriteria
vitalitas ekonomi yang terdiri dari letak strategis kawasan, jarak ketempat
mata pencaharian, dan fungsi kawasan sekitar.
· Kriteria
status tanah yang terdiri dari dominasi sertifikat tanah, status kepemilikan
lahan.
· Kriteria
prasarana dan sarana yang terdiri dari kondisi jalan lingkungan, kondisi
drainase, kondisi air bersih, kondisi air limbah dan kondisi persampahan.
Kriteria dari Direktorat Pengembangan Permukiman Ditjen Cipta
Karya Departemen Pekerjaan Umum dimodifikasi atau ada beberapa kriteria yang
tidak dicantumkan dalam penilaian oleh peneliti agar dapat memudahkan proses pengumpulan data.
Kriteria-kriteria tersebut digunakan untuk membantu peneliti dalam melakukan
penilaian terhadap wilayah objek penelitian.
Ø Kriteria Lokasi
1.
Kota Strategis (Metropolitan, Besar, Ibukota Provinsi)
2.
Kota/Lokasi
Rawan Bencana (Alam, Penyakit, Sosial, Kebakaran)
3.
Kota
Prioritas dan diprogramkan Pemerintah Kota/Kabupaten (APBD)
4.
Kawasan
Kumuh di Pusat Kota, Pusat Kegiatan Ekonomi Kota/Regional, dan Kawasan Kumuh
Nelayan.
Ø Konsep Penanganan Kawasan
Kumuh
•
Penanganan
lingkungan kumuh bersifat spesifik dimana kumuh adalah kriteria utama
penanganan,
•
Proses
penanganan lingkungan kumuh khususnya pada perencanaan program perlu dilakukan
dengan cara yang benar dan terarah
•
Program
Penanganan Lingkungan kumuh adalah kegiatan yang bersifat lintas sektoral, maka
penting bagi semua lembaga terkait untuk memahami lingkup tindakan penanganan
yang menjadi tanggung jawab lembaga/organisasinya.
Ø Kriteria Kumuh
•
Keadaan tidak
layak
•
Kondisi
kesehatan tidak memenuhi syarat
•
Ketidaknyamanan
dan ketidakamanan
•
Kepadatan
bangunan tinggi
•
Rawan
terjangkit berbagai penyakit
•
Tingkat
pelayanan prasarana dan sarana lingkungan
tidak memadai
•
Membahayakan
keberlangsungan hidup dan penghidupan penghuninya
Ø Indikator Kumuh
•
Kondisi lokasi
•
Kondisi kependudukan
•
Kondisi Bangunan
•
Kondisi prasarana dan sarana
•
Kondisi Sosial Ekonomi
Bagan
Proses Penentuan Kekumuhan Kawasan
Upaya
Mengatasi Permukiman Kumuh
Kemiskinan
merupakan salah satu penyebab timbulnya pemukiman kumuh dikawasan perkotaan.
Pada dasarnya kemiskinan dapat ditanggulangi dengan adanya pertumbuhan ekonomi
yang tinggi dan pemerataan, peningkatan lapanganpekerjaan dan pendapatan
kelompok miskin serta peningkatan pelayanan dasarbagi kelompok miskin dan
pengembangan institusi penanggulangan kemiskinan.Peningkatan pelayanan dasar
ini dapat diwujudkan dengan peningkatan air bersih, sanitasi, penyediaan serta
usaha perbaikan perumahan dan lingkungan pemukiman pada umumnya.
Cara Mengatasi Permukiman Kumuh:
1.
Program Perbaikan Kampung, yang ditujukan untuk
memperbaiki kondisikesehatan lingkungan dan sarana lingkungan yang ada.
2.
Program uji coba peremajaan lingkungan kumuh, yang
dilakukan denganmembongkar lingkungan kumuh dan perumahan kumuh yang ada
sertamenggantinya dengan rumah susun yang memenuhi syarat.
PENANGANAN PERMUKIMAN TRADISIONAL
2.1 Definisi Revitalisasi
upaya
menghidupkan kembali lingkungan yang telah mati, yang pada masa silam pernah
hidup, atau mengendalikan dan mengembangkan lingkungan untuk menemukan kembali
potensi yang dimiliki atau pernah dimiliki atau yang seharusnya dimiliki sebuah
lingkungan untuk dapat meningkatkan kualitas lingkungan (fungsional, fisik dan
visual, serta alam) yang
selanjutnya akan berdampak pada peningkatan kualitas hidup dari penghuninya.
2.2
Pola Penanganan
• Berazaskan Tridaya (Manusia, Lingkungan
dan Usaha)
• Pembangunan Bertumpu Pada Masyarakat (PBPM)
• Mengacu kepada kebijakan yang ada
2.3
Arahan Kegiatan
• Komprehensif
• Partisipatif
• Terencana
• Berkelanjutan
2.4 Pendekatan
1. Koordinasi dan sinkronisasi dengan Pemerintah Daerah;
2. Pendekatan TRIDAYA sebagai upaya pemberdayaan terhadap
aspek manusia, lingkungan dan kegiatan ekonomi masyarakat
setempat;
3. Azas “BERKELANJUTAN” sebagai salah satu
pertimbangan penting untuk menjamin kelangsungan kegiatan;
4. Rembug warga dalam upaya menggali sebanyak mungkin aspirasi
masyarakat, selain itu juga melakukan pelatihan keterampilan teknis dalam
upaya pemberdayaan masyarakat.
2.5 Kriteria Lokasi
a. Lingkungan
permukiman dan
bangunan tradisional
(kedaerahan), bersejarah, perdagangan, kelompok
industri rumah tangga yang mempunyai ciri khas tertentu.
b. Secara
sosial-budaya perlu untuk di revive (pernah “hidup dan
dikenal”)
c. Secara
ekonomi, pernah dan punya potensi untuk dikembangkan.
d. Lingkungan
permukiman dan bangunan
yang bercirikan heritage (pusaka).
2.6 Potensi Kawasan
•
lingkungan
fisik perumahan tradisional yang unik dan langka yang sebagian besar sudah
berumur dari seratus tahun.
•
Adanya
setra ari-ari yang masih lestari sampai saat ini).
•
Adanya
upacara adat /wali yang dilaksanakan setiap bulan dengan mengundang secara
bergiliran dari 28 desa yang berhubungan dengan Desa Bayung Gede
•
Aksesibilitas
yang cukup baik menuju dan dari Desa Bayung Gede yang didukung prasarana
jaringan jalan propinsi ke kota-kota yang ada di Bali terutama Bali bagian
timur.
•
Lokasi
yang berdekatan / berbatasan dengan objek wisata Danau Batur.
•
Lingkungan
alam yang mendukung kehidupan masyarakat desa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar