Revitalisasi Kawasan Kota
Kawasan perkotaan di Indonesia dalam
perkembangannya cenderung mengalami permasalahan yang serupa, yaitu tingginya
tingkat pertumbuhan penduduk terutama akibat arus urbanisasi sehingga
menyebabkan pengelolaan ruang kota makin berat. Berdasarkan hasil laporan dari
The Comparative Urban Studies Project di Woldrow Wilson, 2006 menuliskan bahwa
telah terjadi pertambahan penduduk perkotaan didunia, pada tahun 2000 sekitar
50% penduduk dunia tinggal di perkotaan. Sementara itu laporan dari United
Nations dan World Bank juga menunjukkan perkembangan yang relatif tinggi untuk
penduduk negara berkembang, dikatakan dalam laporan tersebut bahwa pada tahun
2050, lebih dari 85% penduduk di dunia akan hidup di negara berkembang dan 80%
dari penduduk di negara berkembang tersebut akan hidup di perkotaan.
Fakta sejarah menunjukkan bahwa urbanisasi dan
industrialisasi selalu merupakan fenomena yang berjalan secara paralel.
Pengalaman empiris dari negara-negara industri maju telah membuktikan kebenaran
dari tesis tersebut. Pertambahan penduduk yang terjadi sebagai akibat dari laju
urbanisasi dan industrialisasi ini pada gilirannya telah mengakibatkan
pertumbuhan kota yang berakibat meningkatnya permintaan akan lahan kota dengan
sangat kuatnya. Dengan persediaan lahan yang semakin terbatas, maka gejala
kenaikan harga lahan tak terhindarkan lagi. Lahan telah menjadi suatu komoditas
yang nilainya ditentukan oleh kekuatan pasar. Kenyataan yang sama saat ini
dihadapi oleh banyak kota-kota besar di dunia, termasuk juga kota-kota besar di
Indonesia, seperti Jakarta, Surabaya, atau Bandung.
Lahan akhirnya merupakan sumber daya utama kota yang
sangat kritikal, disamping pengadaannya yang semakin sangat terbatas, sifatnya
juga tidak memungkinkan untuk diperluas. Satu-satunya jalan keluar adalah
mencari upaya yang paling sesuai untuk meningkatkan kemampuan daya tampung
lahan yang ada agar dapat memberikan manfaat yang lebih besar lagi bagi
kelangsungan hidup kota yang lebih baik. Maka lahirlah upaya untuk
mendaur-ulang (recycle) lahan kota yang ada dengan tujuan untuk memberikan
vitalitas baru, meningkatkan vitalitas yang ada atau bahkan menghidupkan
kembali vitalitas (revitalisasi) yang pada awalnya pernah ada, namun telah
memudar. Hal terakhir inilah yang disebut revitalisasi.
Selanjutnya dapat dikatakan bahwa revitalisasi adalah
upaya untuk mem-vital-kan kembali suatu kawasan atau bagian kota yang dulunya
pernah vital/hidup akan tetapi kemudian mengalami kemunduran/degradasi. Skala
upaya revitalisasi bisa terjadi pada tingkatan mikro kota, seperti pada sebuah
jalan, atau bahkan skala bangunan, akan tetapi juga bisa mencakup kawasan kota
yang lebih luas. Apapun skalanya tujuannya adalah sama, yaitu memberikan
kehidupan baru yang produktif yang akan mampu memberikan kontribusi positif
pada kehidupan sosial-budaya, terutama kehidupan ekonomi kota.
Globalisasi dan Modernitas
Aspek yang membedakan kota-kota besar kita pada masa
lalu, masa kini, dan masa yang akan datang adalah: Jumlah penduduk; Tingkat
pendapatan perkapita; Tingkat kecanggihan teknologi; serta Tata nilai/perilaku
masyarakat yang semakin bersifat universal. Aspek terakhir ini, perilaku,
sangat terpengaruh oleh teknologi informasi. Keempat aspek tersebut akan
merupakan basis yang mendasari bentuk sisi permintaan yang harus diakomodasikan
oleh kota. Sisi permintaan ini berkait erat dengan kebutuhan akan lahan serta
tingkat intensitas pemanfaatannya, serta berbagai bentuk infrastruktur sosial
yang berkait erat dengan perilaku baru masyarakat.
Artinya kebutuhan akan lahan tidak lagi hanya
didasarkan kepada luasnya, tetapi juga didasarkan pada tingkat optimasi
pemanfaatannya serta sifat penggunaannya. Sebagai ilustrasi, peruntukan lahan
yang bersifat tunggal (mono-use) sudah mulai ditinggalkan, sedang kecenderungan
pemanfaatan lahan dengan fungsi majemuk (multi-use) secara terpadu dan berskala
besar (misalnya, konsep superblok, seperti terdapat pada beberapa tempat di
Jakarta yang menggabungkan antara Apartemen sebagai living house dengan tempat
berbelanja dan kantor) mulai berkembang dengan pesat. Namun, harus disadari
bahwa sisi permintaan yang didikte kekuatan pasar ini tidak boleh dilepas tanpa
kendali.
Kota bukan sekedar mesin ekonomi, tetapi kota juga
merupakan wujud organisasi sosial-budaya masyarakat yang harus dijaga
keseimbangan, keadilan serta kesinambungan eksistensinya. Jelas di sini, selain
pertumbuhan yang bersifat fisik (growth), berlangsung juga proses perubahan
dalam perilaku masyarakat yang memang merupakan bagian dari proses evaluasi
peradaban manusia (social changes).
Intervensi perencanaan dan perancangan kota yang peka
terhadap fenomena di masyarakat ini, oleh karena itu menjadi tidak
terhindarkan. Intervensi kebijakan perencanaan kota tidak hanya harus kreatif,
akan tetapi juga harus inovatif. Hal ini dapat dipahami karena berkaitan dengan
kepentingan masyarakat banyak (public needs), serta menyangkut pula proses
penataan lahan kota yang sudah terbangun, yang pengadaannya semakin terbatas.
Selanjutnya intervensi kebijakan perencanaan dan
perancangan kota harus dilihat sebagai instrumen untuk mengelola pertumbuhan
dan perubahan. Pertumbuhan dapat bersifat ekspansi wilayah atau pemekaran kota
(ekstensif) secara fisik, akan tetapi juga bisa bersifat pemadatan (intensif)
kawasan di dalam wilayah kota.
Dalam konteks ini revitalisasi adalah upaya mengelola
pertumbuhan yang bersifat pemadatan pada bagian ataupun kawasan kota yang telah
terbangun serta mengalami degradasi agar supaya bagian-bagian kota tersebut
vital kembali sesuai dengan the highest and the best use dari bagian-bagian
kota tersebut.
Kita saat ini hidup dalam era perubahan yang cepat,
dan kekuatan-kekuatan (ekonomi, sosial budaya, politik dan teknologi) tersebut
ada di sekitar kita. Semuanya merupakan kekuatan yang bertanggung jawab dalam
proses pembentukan lingkungan perkotaan yang kita huni. Jadi, kita harus mampu
mengantisipasi perubahan ini dan ke arah mana perubahan tersebut akan membantu
kita.
Oleh karena itu, kita harus mampu menanggapi serta
mampu memperkirakan ke arah mana semua perubahan ini akan membawa kita. Dengan
informasi yang diperoleh, kita seharusnya dapat menciptakan piranti pengendali
untuk mengarahkan pembangunan kota. Untuk itu, kita harus bertindak secara
proaktif dan bukan secara reaktif, serta berani mengambil tindakan yang tepat
dan terencana.
Globalisasi pun telah membawa kita masuk ke dalam
sistem ekonomi dunia yang tidak lagi mengenal batasan geografis (Sassen, 1991).
Globalisasi berarti pula bahwa modal kuat milik korporasi multinasional
beroperasi secara internasional, dan ini merupakan isu tersendiri di bidang
perencanaan dan perancangan kota yang perlu ditanggapi. Masuknya modal kuat
dari luar berarti pula masuknya norma-norma universal yang menyebarluaskan
doktrin-doktrin perancangan modern yang mereka anggap dapat memberikan pemecahan
bagi berbagai permasalahan (perencanaan dan perancangan) untuk semua tempat di
muka bumi ini. Dalam praktiknya, isu-isu dan dimensi sosial-budaya serta
tradisi lokal sering disalah-artikan, diabaikan, atau bahkan dianggap tidak
penting. Hasilnya adalah penerapan di dalam konteks yang keliru dari
metoda-metoda Barat, standar-standar yang berlebihan, serta teknologi yang
tidak sesuai dengan norma-norma dan budaya lokal setempat.
Namun, kelihatannya kenyataan ini tidak terhindarkan,
bahkan kota-kota besar kita secara berlanjut akan masih terus didominasi oleh
konsep-konsep perancangan kota yang didikte kekuatan ekonomi multinasional dan
menjadikan lingkungan perkotaan kita sebagai koloni mereka. Kenyataan ini
semakin mendekatkan pada ciri wajah kota-kota besar kita kepada kota-kota dunia
lainnya, dan semakin menipisnya nilai-nilai jati diri serta identitas lokal
yang pernah dimiliki oleh lingkungan kota-kota kita. Hal ini mulai marak
terlihat juga dibeberapa lokasi di kota Bandung, tempat ‘kongkow-kongkow’ anak
muda di Ciwalk & Paris van Java misalnya, sudah sangat sulit bagi kita
untuk membedakan apakah kita sedang berada di bandung atau di Orchad Road
Singapore. Tempat hanging out tersebut sangat mungkin
memunculkan budaya konsumerisme ala barat dan miskin nilai-nilai budaya lokal.
Garis langit kota-kota kita akan tetap didominasi oleh
refleksi dari kekuatan-kekuatan ekonomi multinasional atau bahkan
kekuatan-kekuatan besar lainnya (Evers/Korff, 2000). Dilemanya adalah bahwa
pada sisi lain dari cakrawala kota, tidak terlalu jauh dari kemegahan
arsitektur kota yang formal tersebut, muncul berbagai bentuk bangunan tidak
formal dengan penampilan kumuh yang tumbuh dan berkembang secara cepat bersama
waktu, dan ini semua memberi kesan semakin tajam ketidakadilan sosial ekonomi.
Apakah kenyataan ini merupakan identitas lokal wajah kota kita?
Kita harus sadari pula bahwa kita hidup di dalam tata
ruang yang diciptakan oleh pengambil keputusan masa lalu, dan itu tanpa
disadari telah membentuk perilaku kita dan sekaligus persoalan-persoalan baru
pada saat ini. Tata ruang masa depan adalah tanggung jawab para pengambil
keputusan hari ini, oleh karenanya mereka perlu untuk benar-benar mengerti
tentang apa yang sebenarnya kita kehendaki dari masa depan, mengingat keputusan-keputusan
yang diambil hari ini akan mempunyai dampak yang luar biasa pada kehidupan
mendatang. Untuk mengantisipasinya diperlukan sebuah skenario tentang tata
ruang masa depan berdasarkan persepsi serta analisis yang matang, serta harus
dapat diformulasikan secara serius dan teliti. Dengan alasan inilah,
keputusan-keputusan yang diambil hari ini harus dilandasi oleh imajinasi serta
konsep-konsep yang kreatif serta inovatif tentang masa depan kita.
Revitalisasi dan rancang Kota
Gejala penurunan kualitas fisik dapat dengan mudah
diamati pada kawasan kota bersejarah/tua, karena sebagai bagian dari perjalanan
sejarah (pusat kegiatan perekonomian dan sosial budaya), kawasan kota tersebut
umumnya berada dalam tekanan pembangunan (Serageldin et al, 2000). Sejarah perkembangan
kota di Barat mencatat bahwa memang kegiatan revitalisasi ini diawali dengan
pemaknaan kembali daerah pusat kota setelah periode tahun 1960-an. Bahkan
ketika isu pelestarian di dunia Barat meningkat pada periode pertengahan tahun
1970-an, kawasan (pusat) kota tua menjadi fokus kegiatan revitalisasi. Namun
bukan berarti bahwa kegiatan revitalisasi hanya terbatas kawasan kota
bersejarah/tua.
Proses revitalisasi sebuah kawasan atau bagian kota
mencakup perbaikan aspek fisik dan aspek ekonomi dari bangunan maupun ruang
kota. Revitalisasi fisik merupakan strategi jangka pendek yang dimaksudkan
untuk mendorong terjadinya peningkatan kegiatan ekonomi jangka panjang.
Revitalisasi fisik diyakini dapat meningkatkan kondisi fisik (termasuk juga
ruang-ruang publik) kota, namun tidak untuk jangka panjang. Untuk itu, tetap
diperlukan perbaikan dan peningkatan aktivitas ekonomi (economic
revitalization) yang merujuk kepada aspek sosial-budaya serta aspek lingkungan
(environmental objectives). Hal tersebut mutlak diperlukan karena melalui
pemanfaatan yang produktif, diharapkan akan terbentuklah sebuah mekanisme
perawatan dan kontrol yang langgeng terhadap keberadaan fasilitas dan
infrastruktur kota.
Sebagai sebuah kegiatan yang sangat kompleks,
revitalisasi terjadi melalui beberapa tahapan dan membutuhkan kurun waktu
tertentu serta meliputi hal-hal sebagai berikut:
Intervensi Fisik
Intervensi fisik mengawali kegiatan fisik revitalisasi
dan dilakukan secara bertahap, meliputi perbaikan dan peningkatan kualitas dan kondisi
fisik bangunan, tata hijau, sistem penghubung, sistem tanda/reklame dan ruang
terbuka kawasan. Mengingat citra kawasan sangat erat kaitannya dengan kondisi
visual kawasan khususnya dalam menarik kegiatan dan pengunjung, intervensi
fisik ini perlu dilakukan. Isu lingkungan (environmental sustainability) pun
menjadi penting, sehingga intervensi fisik pun sudah semestinya memperhatikan
konteks lingkungan. Perencanaan fisik tetap harus dilandasi pemikiran jangka
panjang.
Rehabilitasi Ekonomi
Revitalisasi yang diawali dengan proses peremajaan
artefak urban harus mendukung proses rehabilitasi kegiatan ekonomi. Perbaikan
fisik kawasan yang bersifat jangka pendek, diharapkan bisa mengakomodasi
kegiatan ekonomi informal dan formal (local economic development), sehingga
mampu memberikan nilai tambah bagi kawasan kota (P.Hall/U.Pfeiffer, 2001).
Dalam konteks revitalisasi perlu dikembangkan fungsi campuran yang bisa
mendorong terjadinya aktivitas ekonomi dan sosial (vitalitas baru).
Revitalisasi Sosial atau Institusional
Keberhasilan revitalisasi sebuah kawasan akan terukur
bila mampu menciptakan lingkungan yang menarik (interesting), jadi bukan
sekedar membuat beautiful place. Maksudnya, kegiatan tersebut harus berdampak
positif serta dapat meningkatkan dinamika dan kehidupan sosial
masyarakat/warga. Sudah menjadi sebuah tuntutan yang logis, bahwa kegiatan
perancangan dan pembangunan kota untuk menciptakan lingkungan sosial yang
berjati diri dan hal ini pun selanjutnya perlu didukung oleh suatu pengembangan
institusi yang baik.
Dari uraian di atas, kota yang baik harus merupakan
satu kesatuan sistem organisasi terpadu, baik yang bersifat sosial, visual,
maupun fisik. Oleh karenanya, kota jangan hanya direncanakan, tetapi kota juga
harus dirancang, terutama dalam skala mikro kota. Kehadiran rancang kota, yang
secara universal dikenal dengan sebutan urban design sekaligus, akan merupakan
jembatan yang diperlukan untuk menghubungkan secara layak berbagai
kebijaksanaan perencanaan kota dengan produk-produk rancangan fisiknya seperti
seni bangunan /arsitektur. Sebagai penyambung antara perencanaan kota dan
perancangan arsitektural, rancang kota sekaligus merupakan suatu perangkat
panduan bagi terwujudnya lingkungan binaan yang tanggap terhadap berbagai isu
lingkungan yang bersifat fisik maupun non-fisik.
Rancang kota sangat berkepentingan dengan kualitas
ruang kota, terutama yang berkaitan dengan kepentingan publik. Sebagai jembatan
antara perencanaan kota dan perancangan arsitektur (baik bangunan maupun
ruang-ruang luar di antaranya), rancangan kota bukanlah merupakan suatu produk
akhir. Namun demikian, urban design akan sangat menentukan kualitas dari produk
akhirnya, yaitu lingkungan binaan yang kita huni ini. Jadi, urban design harus
dilihat sebagai suatu proses yang memberikan arahan bagi terwujudnya suatu
lingkungan binaan fisik yang layak dan sesuai dengan aspirasi masyarakat, ramah
terhadap kemampuan sumber daya setempat, daya dukung lahan serta merujuk kepada
lokalitas.
Produk rancangan kota merupakan rangkaian kebijaksanaan
pembangunan fisik yang menyangkut serta mengutamakan kepentingan umum.
Kebijaksanaan pembangunan ini diturunkan dan dirumuskan dari sasaran
pembangunan yang ingin dicapai, terutama yang menyangkut kualitas lingkungan
hidup. Urban design oleh karenanya lebih berkepentingan dengan fenomena yang
berlangsung di dalam ruang kota dan tidak hanya melihat ruang kota itu sebagai
objek yang harus digarap. Bukan saja aspek keindahan arsitektur kota yang
diutamakan, melainkan bagaimana seharusnya ruang kota itu berfungsi!
Sebagai sebuah perangkat pengarah pembangunan urban
design harus dirumuskan sedemikian rupa, sehingga perangkat tersebut mampu
mempromosikan pengembangan dan bukan sebaliknya. Sebagai contoh: suatu bagian
kawasan di dalam kota yang tadinya memiliki vitalitas yang tinggi kemudian
mengalami kemunduran karena berbagai prasarana/sarana yang ada sudah menjadi
tua dan tidak memadai lagi. Kawasan tersebut kemudian menjadi tidak produktif
dan tidak mampu lagi memberikan kontribusi yang positif kepada kehidupan kota.
Selain itu, secara fisik kawasan tersebut mengalami degradasi lingkungan yang
kian lama semakin buruk, sehingga membawa dampak yang buruk, antara lain
semakin menurunnya kualitas lingkungan tersebut. Peremajaan kota pada akhirnya
merupakan jalan keluar untuk menata kembali kawasan tersebut. Didalam konteks
daur-ulang lahan kota, proses rancang kota perlu diterapkan untuk mencapai
sasaran peremajaan yang telah ditetapkan.
Dapat disimpulkan bahwa rancang kota urban design
adalah suatu proses yang sekaligus merupakan suatu sasaran. Sebagai suatu
proses, rancang kota merupakan piranti yang akan menentukan wujud akhir dari
lingkungan binaan urban yang terbentuk oleh kumpulan produk hasil keputusan
pembangunan yang telah diambil baik di sektor umum (publik) maupun di sektor
swasta. Oleh karena itu, rancangan kota merupakan suatu proses di mana kinerja,
bentuk, serta keterkaitan antara ruang-ruang kota secara sengaja diarahkan
serta dikendalikan perwujudannya agar tercipta suatu lingkungan binaan kota
yang terpadu secara utuh. Rancang kota juga harus mampu mengakomodasi kebutuhan
sosial budaya serta kebutuhan fungsional dari komunitas; dan ini sangat penting
terutama bagi negara seperti Indonesia, dimana kondisi sosial-budaya
masyarakatnya masih berada dalam masa transfomasi. Sebagai suatu sasaran,
rancangan kota adalah kualitas yakni, kualitas fungsional, kualitas visual dan
kualitas lingkungan, dimana rancang kota sebagai suatu proses adalah wahana
untuk mencapainya.
Namun, kelemahan dari banyak rencana kota yang ada
saat ini dapat dilihat di dalam pendekatannya. Para perancang kota lebih sering
melihat kota sebagai benda fisik (physical arti-fact) ketimbang sebagai benda
budaya (cultural artifact). Hal ini merupakan salah satu faktor yang membuat wajah
kota semakin mirip antar satu kota dengan kota lainnya di dunia. Perangkat
rencana kota yang ada saat ini, selain masih belum dapat dipakai secara
sempurna untuk mengendalikan wujud kota, secara umumpun belum dapat memberikan
panduan operasional bagi terbentuknya ruang kota yang akomodatif terhadap
fenomena urban, situasi dan kondisi serta masyarakat yang ada. Dengan kata
lain, masih ada kesenjangan antara rencana tata ruang yang bersifat dua dimensi
dengan rencana fisik yang bersifat tiga dimensi.
Untuk mencapai wujud akhir ruang binaan kota yang
dikehendaki, terutama yang proses pembentukannya memerlukan waktu yang lama,
dirasakan perlu adanya seperangkat piranti yang dapat mengarahkan serta
mengendalikan proses pembentukannya.
Penutup
Revitalisasi adalah upaya untuk mengembalikan serta
menghidupkan kembali vitalitas yang pernah ada pada kawasan kota yang mengalami
degradasi, melalui intervensi fisik dan nonfisik (rehabilitasi ekonomi,
rekayasa sosial-budaya serta pengembangan institusional). Selain itu,
pendekatan revitalisasi harus mampu mengenali dan memanfaatkan potensi
lingkungan (sejarah, makna, keunikan lokasi dan citra tempat).
Dengan dukungan mekanisme kontrol/pengendalian rencana
revitalisasi harus mampu mengangkat isu-isu strategis kawasan, baik dalam
bentuk kegiatan/aktifitas sosial-ekonomi maupun karakter fisik kota. Rancang
kota merupakan perangkat pengarah dan pengendalian untuk mewujudkan lingkungan
binaan yang akomodatif terhadap tuntutan kebutuhan dan fungsi baru.
Referensi
- Evers, Hans-Dieter/Rüdiger Korff: Southeast Asian Urbanism, The Making and Power of Social Space, St. Martin Press, New York, 2000.
- Hall, Peter/Ulrich Pfeiffer: Urban Future 21, A Global Agenda for Twenty-first Century Cities, E & FN Spon, London, 2000.
- Sassen, Saskia: The Global City. Princenton University Press, New York, 1991.
- The Comparative Urban Studies Project di Woldrow Wilson, 2006.
- Dilengkapi dari berbagai sumber
Tidak ada komentar:
Posting Komentar